Kelompok 4
A.
AL-MUWATHTHO
KARYA IMAM MALIK
Kitab
ini disusun oleh ulama besar yang hidup pada generasi tabi’ut tabi’in, bintangnya para ulama di
Madinah dan guru dari para Imam madzhab.
Belum
lengkap rasanya menelaah kitab-kitab yang menghimpun hadits Nabi Muhammad SAW
tanpa menyertakan kitab yang satu ini. Meski tak setebal kitab-kitab hadits
lainnya, kitab hadits yang disusun oleh oleh ulama besar kelahiran Madinah itu
diakui keakuratan dan bobot keilmuannya. Itulah kitab Al-Muwaththa’ karya
Al-Imam Malik bin Anas.
Demikian
hebat kitab tersebut, hingga Imam Syafi’i mengatakan, “Tidak ada kitab dalam
masalah ilmu yang lebih banyak benarnya dibandingkan dengan Muwaththa’-nya
Malik.”
Kitab
yang berisi lima ribuan hadits shahih itu disaring Imam Malik dari seratus ribu
hadits dihafalnya, yang diperoleh dari 40 tahun pencarian dan pembelajaran ke
ahli-ahli hadits terkemuka. Dalam sebuah riwayat diceritakan, khalifah kedua
Bani Abbasiyyah, Abu Ja’far Al-Manshur, meminta Imam Malik untuk menulis
hadits-hadits yang dikuasainya agar bisa menjadi rujukan.
Namun
karena Imam Malik memerlukan waktu yang cukup lama dalam menyusun kitab
perdananya itu, Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur yang keburu meninggal tidak
sempat lagi membacanya. Namun penggantinya, Harun Al-Rasyid, sangat menghormati
kitab karya Imam Malik tersebut, sampai pernah bermaksud menggantungnya di
dinding Ka’bah sebagai lambang persatuan ulama dalam hal agama.
Usai
menyusun kitab kumpulan haditsnya tersebut, Imam Malik sempat kebingungan
mencari judul yang sesuai untuk kitabnya. Sampai suatu ketika ia bermimpi
dikunjungi Rasulullah yang bersabda kepadanya, “Sebarkan kitab ini kepada
manusia.” Ketika bangun dari tidur, Imam Malik pun mantap menamakan kitabnya
dengan Al-Muwaththa’ yang artinya kitab yang disepakati atau panduan.
Kitab
Al-Muwaththa disebarkan kepada umat Islam melalui murid-muridnya, terutama
murid terakhirnya yang wafat 80 tahun setelah wafatnya Imam Malik, yakni Abu
Hudzafah Ahmad bin Isma’i1 As-Sahmi.
Jika
menilik riwayat penyusunnya, Kitab Al-Muwaththa memang sangat layak untuk
dihormati. Betapa tidak, Imam Malik, sejak masa hidupnya hingga saat ini
termasuk salah seorang ulama tak pernah berhenti disanjung karena keilmuannya .
Imam
Syafi’i, misalnya, mengomentari sang guru dengan ucapan, “Jika disebutkan
nama-nama ulama, Imam Malik adalah bintangnya.” Pendiri madzhab Syafi’iyyah itu
juga menambahkan, “ Kalau bukan karena (perantaraan) Imam Malik dan Ibnu
Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu yang ada di Hijaz.
1. Sanad Paling Shahih
Tak
heran jika seluruh penduduk Hijaz menjuluki Imam Malik dengan Sayyidu Fuqaha-il
Hijaz, penghulu para ahli fiqih Hijaz. Sementara Imam Yahya bin Sa’id
Al-Qahthan dan Yahya bin Ma’in, dua ulama besar Hijaz lainnya menjulukinya
Amirul Mu’minin Fil Hadits, pemimpin orang-orang beriman dalam bidang
hadits.”
Bahkan
Imam Al-Bukhari, muhaddits besar penyusun kitab Shahih Bukhari, mengatakan,
“Yang dikatakan ashahhul asanid, sanad hadits yang paling shahih adalah sanad
yang terdiri dari Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar.”
Dan
jika ditelusuri lebih jauh, keunggulan ilmu Imam Malik sudah diisyaratkan sejak
masa beginda Nabi Muhammad SAW. Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, Rasulullah
SAW bersabda, “Sungguh manusia akan menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu,
maka mereka tidak mendapati seorang alim pun yang lebih berilmu dibandingkan
dengan ulama Madinah.” (HR An-Nasa’i, Ibnu Abi Hatim dan Adz-Dzahabi).
Sufyan
bin Uyainah berkata, “Dulu aku mengira orang itu adalah Sa’id bin Musayyib,
tetapi sekarang aku yakin bahwa dia adalah Malik yang tiada bandingannya di
Madinah.”
2. Biografi Imam Malik
Imam
yang lahir di Kota Madinah pada tahun 93 H itu memiliki nama lengkap Abu
Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amr bin Al Harits Al-Ashbahi.
Abu Amir adalah warga Yaman yang berhijrah ke Madinah untuk belajar dan
mengikuti perjuangan Rasulullah SAW.
Sedangkan
kakek Imam Malik yang juga bernama Malik adalah seorang tabi’in besar yang juga
ahli fiqih kenamaan pada masanya. Ia adalah salah seorang dari empat tabi’in
yang jenazahnya dibawa sendiri oleh Khalifah Utsman.
Ibunda
Imam Malik adalah Aliyah Syuraik yang dalam sebuah riwayat diceritakan, telah
mengandung janin Imam Malik selama dua atau tiga tahun di dalam perut sebelum
melahirkannya di Kampung Zuwarmah di utara Madinah, pada zaman pemerintahan
Khalifah Al-Walid Abdul Malik.
Ketika
Malik lahir, Madinah terkenal sebagai pusat ilmu keislaman, dengan para tabi’in
sebagai guru-gurunya. Kondisi sosial yang kondusif memupuk cinta Malik kecil
terhadap ilmu al-Quran dan hadits sejak kecil. Setiap kali belajar satu hadits,
bocah yang dikenal memiliki hafalan sangat kuat itu lalu mengikat sebuah simpul
tali sebagai pengingat hadits yang dipelajarinya.
Imam
Malik bin Anas dikenal berwajah tampan, berkulit putih kemerah-merahan,
berperawakan tinggi besar, berjenggot lebat, pakaiannya selalu bersih, suka
berpakaian berwarna putih, jika memakai imamah sebagian diletakkan di bawah
dagunya dan ujungnya diuraikan di antara kedua pundaknya. Tokoh yang termasyhur
dengan kecerdasan, keshalihan, keluhuran jiwanya, dan kemuliaan akhlaqnya itu
juga gemar memakai wangi-wangian dari misik dan yang lainnya.
Imam
Malik menuntut ilmu ketika masih berusia belasan tahun. Ketika remaja, Malik
yang hidup dalam keadaan sangat miskin sering terpaksa menjual kayu dari atap
rumahnya yang runtuh untuk mendapatkan uang bekal mengaji.
Ketika berusia 17
tahun, ulama yang konon berguru kepada 900 orang ulama kalangan tabi’in itu
sudah sangat alim dalam ilmu agama. Di antara guru-gurunya adalah Imam Nafi’
bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdullah
bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, dan Abdullah bin Dinar.
Dan
ketika usianya menginjak 21 tahun, ia sudah dipercaya para ulama untuk
berfatwa dan membuka majelis ta’lim. Banyak ulama yang mengambil ilmu riwayat
darinya, meski saat itu usianya jauh lebih muda. Murid-muridnya antara lain
Abdullah Ibnul Mubarak, Al-Qaththan, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qasim,
Al-Qa’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya Al-Andalusi,
Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats-Tsaury, Sufyan bin
Uyainah, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abu Hudzafah As-Sahmi, dan
Az-Zubairi.
Dipercaya
menjadi seorang mufti di usia belia, tidak membuat Imam Malik lupa diri. Abu
Mush’ab menceritakan, “Aku mendengar Malik berkata, ‘Aku tidak berfatwa hingga
70 orang bersaksi bahwa aku layak berfatwa.” Dalam berfatwa pun Imam Malik
terkenal sangat berhati-hati
Walaupun
dikenal sebagai ulama terbesar pada masanya, Imam Malik juga tak luput dari
ujian. Pada masa pemerintahan Al-Manshur Imam Malik pernah dipukul dengan
cambuk sebanyak tujuh puluh kali lecutan.
Dikisahkan
ketika khalifah Al-Manshur melarang Malik menyampaikan hadits, “Tidak ada
thalaq bagi orang yang dipaksa.” Tetapi ada orang yang dengki dengannya yang
menyelundup di majelisnya yang menanyakan hadits tersebut hingga Malik
menyampaikannya di muka umum. Abu Ja’far yang murka mencambuk Imam Malik.”
Muhammad
bin Umar berkata, “Sesudah kejadian tersebut Malik semakin naik derajatnya di
mata manusia.” Adz-Dzahabi menambahkan, “Inilah buah dari ujian yang terpuji,
akan mengangkat kedudukan hamba di sisi orang-orang yang beriman.”
B. SHAHIH AL-BUKHARI KARYA IMAM AL-BUKHARI
Di
antara kitab-kitab hadis yang berkembang, kitab Shahih Imam Al-Bukhari
merupakan salah satu di antara kitab hadis yang paling populer dan mendapat
perhatian luas dari masyarakat. Di antara ulama bahkan mengatakan tidak ada
kitab yang paling sahih setelah al-Qur’an selain kitab Shahih Al-Bukhari.
Anggapan ulama bahwa kitab Shahih Imam al-Bukhari ini memiliki akurasi yang
tinggi, bukan tanpa alasan. Tetapi, memang dipahami dari metode Imam al-Bukhari
sendiri di dalam menyeleksi hadis-hadis yang beliau masukan ke dalam kitab
Shahih-nya.
Shahih
Bukhari adalah karya terbesar dan terpenting di bidang hadits. Sejak dulu
banyak ulama yang meyakini, jika kitab Shahih Bukhari dibaca secara berjamaah
akan mucul fadhilahnya, seperti untuk menangkal musibah dan memulihkan keamanan
suatu daerah.
Nama
asli Imam Bukhari adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah
Al-Ju'fi Al-Bukhari. Julukan penghormatannya Abu Abdullah. Sedangkan nama
Bukhari dinisbatkan kepada desa tempat kelahiran beliau, Bukhara. Imam Bukhari
lahir pada hari Jum'at 13 Syawal 194 H (810 M), di Bukhara, Uzbekistan.
Ayahnya, juga dikenal sebagai ulama ahli hadits yang pernah berguru kepada
beberapa tabi’in dan tabiut tabi’in, seperti Imam Malik bin Anas, dan Imam
Abdullah bin Al-Mubarak.
Ketika
usianya menginjak 10 tahun, Imam Muhammad Al-Bukhari yang mempunyai kecerdasan
dan daya ingat yang diatas rata-rata, mulai belajar dan menghafal hadits.
Merasa tak cukup dengan sekedar berguru di desanya, ia pun mulai mendatangi
tokoh-tokoh ahli hadits di sekitar desanya.
Ketika
berusia 16 tahun, nama Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mulai dikenal di kalangan
muhaditsin sebagai pemuda yang cerdas yang telah hafal Al-Qur'an dan beberapa
kitab hadits yang ditulis Imam Abdullah bin Al-Mubarak dan Imam Waki' (guru
Imam Syafi’i), ahli hadits pada masanya.
Tahun
210 H, Muhammad Al-Bukhari diajak menunaikan ibadah haji oleh ibunya. Kali ini
ia akan mendapatkan kesempatan belajar kepada ulama yang tinggal sepanjang
jalur hajinya. Dan seperti yang telah diduga sebelumnya, ketika ibunya kembali
ke Bukhara, Muhammad Al-Bukhari memilih untuk tinggal di Mekkah. Di tanah suci
ia berguru kepada culama
ahli hadits pada masa itu, seperti Al-Walid, Al-Azraqi, dan Ismail bin Salim.
Ia juga ia mengunjungi kota Madinah, untuk menemui para anak cucu sahabat Nabi
SAW dan mendengarkan hadits dari mereka.
Setelah
dirasa cukup, Imam Muhammad Al-Bukhari pun meninggalkan Mekkah dan Madinah,
untuk memulai pengembaraan panjangnya menemui para ulama hadits di berbagai
pelosok daerah. Ia tercatat sebagai orang pertama melakukan perjalanan
terpanjang dalam mencari hadits.
Selama
pengembaraannya, Muhammad Al-Bukhari juga sempat menulis beberapa buku tentang
hadits. Di antaranya Al-Adab Al-Mufrad, Ra'fu Al-Yadain fii As-Shalah, Birru
Al-Walidain, At-Taariikh Al-Ausat, Ad-Dhuafa', Al-Asyribah, dan Al-Hibah. Namun
dari sekian banyak karyanya tersebut, Al-Jami’ush Shahih atau Shahih Bukhari
lah yang mengabadikan nama Imam Muhammad Al-Bukhari dalam khazanah keilmuan
Islam.
Setelah
mengembara selama 16 tahun, konon Imam Bukhari berhasil menghimpun sekitar
600.000 hadits, yang diperolehnya dari puluhan negeri dan ribuan guru. Setelah
diadakan penyeleksian, menurut perhitungan Ibnu Shalah dan Imam Nawawi,
terjaring 7.275 hadits yang dianggap shahih. Jumlah itu termasuk pengulangan
hadits dalam beberapa bab berbeda. Sedangkan bila tanpa pengulangan, tercatat
sekitar 4.000 hadits.
Lain
lagi menurut perhitungan Al-Imam Al-Hafidz. Jumlah hadits shahih dalam kitab
karya Al-Bukhari adalah sebanyak 7.397 hadits dengan pengulangan. Sedang bila
tanpa pengulangan sebanyak 2.602 hadits.
Kitab
Shahih Bukhari memang sangat fenomenal. Hingga saat ini kini lebih dari 100
kitab syarah (penjelasan) Shahih Bukhari telah disusun oleh para ulama. Yang
paling terkenal diantaranya adalah : Fathu Al-Baari yang disusun Imam
Syihabuddin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Hajar Al-'Asqalani
(wafat tahun 853 H), Irsyadu As-Saari disusun Imam Ahmad bin Muhammad Al-Mishri
Al-Qashthalani (wafat tahun 923 H), 'Umdatu Al-Qaari karya Al-'Aini (wafat 855
H) dan At-Tawsyih karya Jalaluddin As-Suyuthi.
Dalam
teknis penulisanya, Al-Bukhori membuat bab-bab sesuai dengan tema dan materi
hadits yang akan ditulisnya, setelah selesai menulis kitab shahihnya,
Al-Bukhori memperlihatkanya kepada Ahmad Ibn Hanbal, Ibn Ma’in, Ibn Al-Madani,
dan lainnya dari kalangan Ulama’-Ulama’ hadits. Mereka semuanya menilai bahwa
hadits-hadits yang terdapat didalamnya kualitasnya tidak diragukan, kecuali 4
buah hadits saja dari sekian banyak hadits yang memerlukan peninjauan ulang
untuk dikatakan sebagai hadits shohih.
Dan
diantara semua kitab syarah Shahih Bukhari yang pernah dibuat, Fathu Al-Baari
dianggap sebagai yang paling bagus, hingga digelari “Penghulu Syarah Bukhari”.
Selain syarah, ada juga beberapa kitab yang men-ta’liq (memberi
komentar/penjelasan pada bagian-bagian tertentu).
Ada
juga ulama yang meringkas kitab tersebut, yang lazim disebut mukhtashar
(ringkasan), seperti : At-Tajridu As-Shahih disusun Al-Husain bin Al- Mubarak
dan At-Tajridu As-Shahih, oleh Ahmad bin Ahmad bin Abdul Latif Asy-Syiraji
Az-Zabidi.
Seabad
setelah Shahih Bukhari tersusun, beberapa ulama hadits, seperti Al-Imam
Ad-Daraqutni dan Abu Ali Al-Ghassani mengkritik kitab tersebut. Menurut mereka
di antara ribuan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, terdapat juga seratusan
hadits yang dhaif. Tiga abad kemudian muncul lagi ulama ahli hadits yang
membela dan membantah semua kritikan ulama sebelumnya. Bahkan Ibnu Shalah
mengatakan bahwa kitab Shahih Bukhari adalah afshah al-kutub ba'da Al-Qur'an
(kitab yang paling shahih/otentik setelah Al- Qur'an).
Al
Bukhori meninggal di desa Khartand kota Samarkand pada tanggal 31 Agustus 870 M
(30 Ramadhan tahun 256 Hijriyah.) pada malam idul fitri pada usia 62 tahun
kurang 13 hari, ia dimakamkan selepas sholat dhuhur pada hari raya Idul Fitri.
C. SHAHIH MUSLIM KARYA IMAM MUSLIM
Penghimpun
dan penyusun hadits terbaik kedua setelah Imam Bukhari adl Imam Muslim. Nama
lengkapnya ialah Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz
al-Qusyairi an-Naisaburi. Ia juga mengarang kitab As-Sahih . Ia salah seorang
ulama terkemuka yg namanya tetap dikenal hingga kini. Ia dilahirkan di Naisabur
pada tahun 206 H. menurut pendapat yg sahih sebagaimana dikemukakan oleh
al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya ‘Ulama’ul-Amsar.
Ia
belajar hadits sejak masih dalam usia dini yaitu mulai tahun 218 H. Ia pergi ke
Hijaz Irak Syam Mesir dan negara-negara lainnya.
Imam
Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling
utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih
lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam
Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan
tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping
itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun
dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim
sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan
ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat
yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut.
Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada
setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau
sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang
berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Dalam
lawatannya Imam Muslim banyak mengunjungi ulama-ulama kenamaan utk berguru
hadits kepada mereka. Di Khurasan ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak
bin Rahawaih; di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di
Irak ia belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di
Hijaz belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar; di Mesir berguru
kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya dan kepada ulama ahli hadits yang
lain.
Muslim
berkali-kali mengunjungi Baghdad utk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits dan
kunjungannya yang terakhir pada 259 H. di waktu Imam Bukhari datang ke Naisabur
Muslim sering datang kepadanya untuk berguru sebab ia mengetahui jasa dan
ilmunya. Dan ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az-Zihli
ia bergabung kepada Bukhari sehingga hal ini menjadi sebab terputusnya hubungan
dengan Az-Zihli.
Muslim
dalam Sahihnya maupun dalam kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang
diterima dari Az-Zihli padahal ia adalah gurunya. Hal serupa ia lakukan
terhadap Bukhari. Ia tidak meriwayatkan hadits dalam Sahihnya yang diterimanya
dari Bukhari padahal iapun sebagai gurunya. Nampaknya pada hemat Muslim yang
lebih baik adalah tidak memasukkan ke dalam Sahihnya hadits-hadits yang
diterima dari kedua gurunya itu dengan tetap mengakui mereka sebagai guru.
D. SUNAN ABU DAUD KARYA
IMAM ABU DAUD
Di
antara kitab-kitab kumpulan hadits, inilah kitab yang susunannya bercorak fiqih
yang penyusunannya sangat sistematis.
Jika
kita mengagumi kitab kumpulan hadits karya Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasa’i,
maka kita harus terlebih dulu mengagumi kitab kumpulan hadits karya guru mereka
yang juga berjudul As-Sunan. Kitab yang juga banyak bercorak fiqih itu ditulis
muhadits dan faqih besar pada masanya yaitu Al-Imam Sulaiman bin Imran bin
Al-Asy`ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Imron Al-Azdy
As-Sajistani atau biasa disebut Imam Abu Dawud.
Kitab
As-Sunan tersebut memuat 4800 hadits yang disaring dari 50.000an hadits. Dan
50.000 hadits itu sendiri merupakan saringan dari ratusan ribu hadits yang
diperolehnya saat berkelanan. Kumpulan hadits berjumlah 4800 itulah yang lalu
ditulis pada kitab As-Sunan.
Di antara kitab-kitab
kumpulan hadits, kitab sunan karya Abu Dawud termasuk yang paling banyak
menarik perhatian, karena merupakan salah satu kompilasi hadits hukum yang
paling lengkap.
Tentang
kualitas kitab tersebut Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah mengomentari, “Kitab Sunan
Abu Dawud adalah kitab yang dengan topiknya Allah telah mengkhususkan kedudukan
penulisnya. Dalam banyak pembahasan yang bisa menjadi hukum, hendaklah para
mushannif (pengarang kitab) mengambil hukum dari kitab itu dan kepada itu pula
hendaknya para muhaqqiq (pencari kebenaran) merasa ridha. Sesungguhnya Abu
Dawud telah mengumpulkan sejumlah hadits ahkam (hukum) dan menyusun serta
mengaturnya dengan sebaik-baiknya. Dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi ia
membuang sejumlah hadits dari para perawi yang majruh (mempunyai cela) dan
dhu'afa (memiliki kelemahan).”
Demikian
besar keutamaan kitab Sunan Abu Dawud, hingga ketika usai disusun, Ibrahim
al-Harbi, seorang ulama ahli hadits pada masa itu mengomentari, “Hadits telah
dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan untuk Nabi Dawud.”
Ungkapan yang menunjukan keistimewaan seorang ahli hadits itu dimaksudkan, Imam
Abu Dawud telah menyederhanakan persoalan hadits yang rumit, mendekatkan yang
jauh dan memudahkan yang sukar.
Selain
ahli hadits, Imam Abu Dawud juga menonjol sebagai seorang faqih, ahli fiqih.
Kefaqihan dan keahliannya dalam ilmu hadits tampak berpadu ketika Imam Abu
Dawud mengritik sejumlah hadits yang bertalian dengan hukum fiqih dan dalam
penjelasan bab-bab fiqih pada kitab-kitab haditsnya. Kedalaman ilmu Abu Dawud
tersebut –meski luar biasa-- cukup dimaklumi mengingat beliau murid kesayangan
Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali.
Jumlah
hadits dalam Sunan Abu Dawud adalah sebanyak 4800 hadits, sebagian ulama
menghitungnya sebanyak 5.2.74 hadits. Perbedaan ini dikarenakan sebagian orang
menghitung hadits yang diulang sebagai satu hadits dan sebagian lagi
menghitungnya sebagai dua hadits. Abu Dawud membagi Sunannya dalam beberapa
kitab dan tiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah
diantaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi dalam bab-bab. Sedangkan jumlah
babnya ada 1.871 bab.
Koleksi
hadis Sunan Abu Dawud telah memikat ulama generasi berikutnya untuk mengulas
(mensyarahi) kandungannya dan tak kurang dari 13 kitab yang ditulis oleh ulama
dengan latar belakang madzhab fiqh yang berbeda, antara lain :
Ma’alim
As-Sunan, oleh Al-Khathabi (wafat 388 H); Syarah As-Sunan, oleh Ar-Ramli (wafat
844 H); Syarah As-Sunan, oleh Quthbuddin as-Syafi’i (wafat 652 H) yang naskah
aslinya belum pernah digandakan; Aunu Al-Ma’bud, oleh Syamsu al-Haqq al-Adhim
Abadi, dinilai sebagai kitab syarah terpadat dan berwawasan luas; Al-Minhal al-’Azbu
al-Maurud, oleh syeikh Mahmud al-Subki (wafat 1352 H) mencapai 10 jilid format
besar dan dilanjutkan oleh putera beliau syeikh Amin Mahmud al-Subki sehingga
selesai menjadi 14 jilid.
Perihal
jumlah guru hadits Imam Abu Dawud, ulama ahli hadits berbeda pendapat. Abu Ali
Al-Ghosaany, misalnya, menyebutkan nama-nama guru Abu Dawud yang mencapai 300
orang. Sementara Imam Al-Mizzy menyebutkan jumlah 177 nama guru sang Imam dalam
kitabnya, Tahdzibul Kamal.
Jumlah
yang sama banyak juga tercatat dalam daftar ulama yang pernah menjadi muridnya.
Yang paling terkenal tentu saja Imam Abu Isa At-Tirmidzi dan Imam An-Nasa`i,
penyusun dua kitab Sunan yang juga termasuk dalam kutubus sittah. Selain mereka
tersebut juga nama Abu Bakr bin Abi Daud, Abu Thoyib Ahmad bin Ibrahim
Al-Baghdadi, Abu Amr Ahmad bin Ali Al-Bashri, Ali bin Hasan Al-Anshari,
Muhammad bin Bakr At-Tammaar, dan Abu Ali Muhammad bin Ahmad Al-Lu’lu’i, yang
tidak lain adalah perawi kitab Sunan Abu Dawud.