Jumat, 27 Februari 2015

konflik antara Dinasti Shafawiyah dan Turki Utsmani

MAKALAH
Konflik antara Turki Utsmani dan Shafawiyah
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Periode Pertengahan
Dosen pengampu: Dr. Siti Maryam, M.Ag.





Disusun oleh:
Nafi’ Rotus Sholikah





PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Turki Utsmani dan Shafawiyah merupakan dua dinasti besar yang muncul di abad pertengahan. Sebelum terjadinya konflik antara dua dinasti besar ini, keduanya memiliki kerjasama yang baik. Kerjasama ini dimulai dari hubungan diplomatik antara Sultan Bayazid II/ penguasa Turki Utsmani (1481-1512 M) dengan Syah Ismail I/ pendiri Shafawiyah (1502-1524 M).
Pada waktu itu, Sultan Bayazid II menerapkan dua kebijakan politik mengenai hubungan diplomatik dengan Syah Ismail yaitu, kebijakan anti-shafawi yang diterapkan ketika Syah Ismail dalam keadaan lemah dan kebijakan pro-shafawi ketika Shafawiyah masih memiliki kekuatan politik yang kuat.

2.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana latar belakang terjadinya konflik antara Turki Utsmani dan Shafawiyah?
b.      Bagaimana puncak terjadinya konflik antara Turki Utsmani dan Shafawiyah?
c.       Bagaimana dampak dari Perang Chaldiran?






BAB II
PEMBAHASAN
1.      Latar belakang terjadinya konflik antara Turki Utsmani dan Shafawiyah
Ketika Syekh Haidar meninggal dunia pada tahun 1488 M, kebijakan politik yang anti-Shafawi mulai muncul dan kekuatan Syah Ismail I mulai melemah. Sehingga pada tahun 1501 M, Sultan Bayazid II mengirimkan utusannya yaitu Mahmud Aqa Chauwushbashi untuk memberikan surat kepada Alwand Mirza/ penguasa Aq Qoyunlu. Dalam surat itu berisi permintaan agar Alwand Mirza mau bekerja sama melawan The Red Heads (si kepala merah atau pasukan Qizilbasy). Tetapi ketika Syah Ismail I dalam keadaan kuat, Sultan Bayazid II mengirimkan surat kepada Syah Ismail I untuk menjalin kerjasama. Surat itu berisi permintaan agar rakyat  dan pasukannya di Asia Kecil tidak dicegah untuk mengunjungi tempat suci di Adrabil.
Hubungan persahabatan mereka semakin harmonis walaupun keduanya memiliki ideologi berbeda, hal tersebut terlihat ketika Sultan Bayazid II mengirimkan surat persahabatan kepada Syah Ismail I pada tahun 1504 M di Isfahan yang berisi ucapan selamat atas keberhasilan Syah Ismail I dalam menaklukkan Irak, Persia, dan Fars.
Tahun 1508-1509 M, Syah Ismail I berhasil menaklukkan Baghdad dan sebagian besar barat daya Persia. Dari situlah Syah Ismail I melakukan pembantaian terhadap muslim Sunni dan melakukan perusakan terhadap masjid-masjid serta makam-makam Sunni. Hal ini merupakan pembantaian pertama yang dilakukan oleh Syah Ismail I kepada penduduk Sunni, sehingga membuat Sultan Bayazid II meminta agar Syah Ismail I menghentikan praktek tersebut karena Sultan Bayazid II melindungi muslim Sunni.
Sultan Bayazid II mengirimkan surat kepada Syah Ismail I untuk mengucapkan atas kemenangannya melawan Syabani Khan pada tahun 1511-1512 M. Akan tetapi ucapan tersebut dibalas dengan penghinaan karena Syah Ismail I merasa dirinya kuat sehingga meremehkan Sultan Bayazid II dengan mengirimkan kepala Syaibani Khan yang telah dipenggal.
Setelah penghinaan tersebut, Sultan Bayazid II digantikan oleh putranya yaitu Sultan Salim I (1512 M) dari pemerintahan Turki Utsmani[1]. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya konflik internal seperti perebutan tahta kekuasaan antara putra-putra sultan. Putra sulung sultan yaitu Ahmad yang menolak pemerintahan Sultan Salim I, sehingga Ahmad pun dibunuh oleh sultan Salim I. Disisi lain putra dari Ahmad yaitu Murad, mengaku bahwa dirinya sebagai raja untuk menandingi Sultan Salim I.
Syah Ismail I memanfaatkan konflik internal di kalangan pemerintahan Turki Utsmani sehingga pada tahun 1512 M, ia mengirim gubernur Arzinjan yang bernama Nur Ali Khalifa Rumlu untuk menarik pengikut Utsmani. Hal tersebut menyebabkan hubungan antara dua dinasti besar itu merenggang hingga menimbulkan konflik besar.
Ada beberapa hal yang menjadi akar konflik dari dua dinasti besar tersebut, yaitu:
a.       Perbedaan Ideologi
Dari perbedaan ideologi tersebut dalam menetapkan kepemimpinan antara Turki Utsmani dan Shafawiyah menyebabkan pertentangan dan berusaha mempertahankan ideologi masing-masing dan pembantaian muslim Sunni yang dilakukan oleh Syah Ismail I di Baghdad tahun 1508-1509 M menjadi konflik berkepanjangan.
b.      Bidang Politik
Syah Ismail I juga mempersiapkan kekuatan untuk merebut kekuasaan dengan memerintahkan utusannya untuk memobilisasi pendukungnya di Anatolia dan melakuakan eksploitasi kepada masyarakat Turkmen di Anatolia. Banyak masyarakat Anatolia Turkmen yang bergabung dengan Syah Ismail I. Sedangkan dipihak Turki Utsmani mempersiapkan militer dan memerintahkan agar tidak meninggalkan wilayah Rum sampai Syah Ismail I mengalihkan perhatiannya ke wilayah timur. Pada tahun 1502 M sultan Bayazid II memerintahkan untuk menganiaya tentara Qizilbasy yang ada di Anatolia.
Adanya pemberontakan penduduk Turki Utsmani, pelanggaran Shafawiyah yang telah memasuki wilayah Turki Utsmani, kekalahan pasukan Turki Utsmani, dan hak istimewa yang telah diberikan kepada Murad oleh Syah Ismail I membuat sakit hati yang tidak terlupakan dalam pikiran Sultan Salim I. Dari beberapa faktor tersebut memunculkan konflik yang berkepanjangan dan amarah itu terealisasikan dalam perang besar Chaldiran tahun 1514 M.
c.       Bidang Ekonomi
Dari keberhasilan Syah Ismail I dalam penyebaran paham Syiah ke wilayah Turki Utsmani tidak hanya karena keunggulan tentaranya namun juga adanya krisis ekonomi yang terus terjadi, bencana alam, wabah penyakit, dan kelaparan yang membuat penduduk Asia Kecil mengikuti ajakan Syah Ismail I yaitu mengikuti paham Syiah.
Adanya selat Hurmuz yang menjadi jalur perdagangan strategis sehingga membuat Turki Utsmani berkeinginan untuk menguasai wilayah tersebut. Karena selat Hurmuz merupakan titik persimpangan perdagangan yang ada di darat dan laut antara Eropa dan Asia.  
2.      Puncak Konflik Turki Utsmani dengan Shafawiyah
Terjadinya peperangan antara Turki Utsmani dengan Shafawiyah merupakan bentuk nyata dari konflik kedua dinasti tersebut. Perang Chaldiran pada tahun 1514 M merupakan perang pembuka dan peperangan terbesar antar keduanya. Perang Chaldiran adalah serangan Sultan Salim I kepada Syah Ismail I. Setelah pengangkatan Sultan Salim I sebagai penguasa Turki Utsmani  mulai muncul beberapa masalah salah satunya adalah ancaman dan bahaya penyebaran paham Syiah dari Shafawiyah. Dengan adanya hal secaman itu Sultan Salim I menghentikan gerakan jihad ke arah barat dan mengarahkan tentaranya ke arah timur.
 Ultimatum atau peringatan pertama yang dilakukan Sultan Salim I kepada Syah Ismail I, ketika Sultan Salim I meninggalkan Andrinopel dan melanjutkan ke Persia. Pada tahun 1514 M melakukan perjalanan untuk sampai ke Konstantinopel dan menunjuk putranya Sulaiman untuk menjadi gubernur Adrianopel, serta melanjutkan perjalanan ke Qaraman. Kemudian, Sultan Salim I berhasil menangkap mata-mata dari Persia  yang dipercaya melaporkan kekuatan dan gerakan Turki Utsmani. Selanjutnya, mata-mata tersebut dikirimkan kepada Syah Ismail I. 
Sebelum peperangan terjadi, Sultan Salim I bersikap lunak terhadap Syah Ismail I dengan terjadinya dialog melalui surat-menyurat. Pada tahun 1514 M Sultan Salim I beserta pasukannya sampai di Chaldiran dan Syah Ismail juga mempersiapkan pasukan untuk melawan Sultan Salim I.hal tersebut dilakukan Syah Ismail sebagai respon dari ejekan Sultan Salim I terhadap dirinya. Pada tahun ini pula kedua pasukan itu saling berhadapan dalam medan peperangan, dari peperangan tersebut Syah Ismail I menderita kekalahan yang besar. Setelah mengalami kekalahan Syah Ismail I berhasil melarikan diri ke Tabriz.
Pasca perang Chaldiran Syah Ismail I berkeinginan kerjasama dengan orang-orang Nasrani untuk memerangi Turki Utsmani. Dari kekalahan itu pula Syah Ismail I mengalami tekanan batin dengan menghabiskan waktunya untuk menyendiri dan berusaha mengilangkan bebannya dengan berburu dan berpesta pora. Pada tahun 1524 M, ia meninggal dunia karena sakit ketika berburu di Georgia.
Konflik Turki Utsmani tidak berhenti sampai pada perang Chaldiran 1514 M, konflik ini terus berlanjut seiring bergantinya para pemimpin dalam dinasti masing-masing. Setelah perang Chaldiran 1514 M, terjadi perang pada tahun 1533-1555 M yaitu terjadi invasi Turki Utsmani dan  Shafawiyah. Dalam perang ini Turki Utsmani dipimpin oleh sultan Sulaiman al Qonuni (1520-1566 M) dan Shafawiyah dipimpin oleh Syah Tahmaps. Terjadinya perang tersebut dipicu oleh pemberontakan yang dilakukan Zulfikar Mawalu (seorang pengikut setia pemerintahan Turki Utsmani). Pada akhirnya perang ini berakhir dengan perdamaian antara kedua belah pihak di Amasya. Hal ini adalah perdamaian resmi pertama yang dilakukan antara Turki Utsmani dan Shafawiyah.
Perang itu masih tetap berlanjut, ketika itu Shafawiyah dipimpin oleh Muhammad Khudabanda dan dilanjutkan oleh Syah Abbas I. sementara itu Turki Utsmani dibawah pimpinan Sultan Murad III. Hal tersebut terjadi karena perjanjian perdamaian yang telah disepakati oleh kedua belah pihat tetapi dilanggar oleh Sultan Murad III dari Turki Utsmani. Konflik antara Turki Utsmani dan Shafawiyah tidak berhenti sampai disini, namun tetap berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
3.      Dampak Perang Chaldiran
Tidak hanya berdampak pada harta maupun nyawa yang hilang, tetapi berdampak pada bidang agama, politik, dan ekonomi.
a.       Dalam bidang Agama;
Sunni menjadi lebih dominan di Asia kecil karena setelah dilakukan pembersihan terhadap para pendukung dan para pengikut Shafawiyah.
b.      Dalam bidang politik; Diyar-e-Bakr dan Arjinzan menjadi wilayah Turki Utsmani
c.       Dalam bidang ekonomi;
-          Pendapatan bea cukai di Anatolia menjadi menurun
-          Pendapatan Negara menjadi turun drastis karena banyak jalur-jalur perdagangan yang ditutup
-          Perdagangan bilateral
-          Selat Hurmuz yang menjadi pusat perdagangan dikuasai oleh Portugis.














BAB III
PENUTUP
Simpulan
Turki Utsmani dan Shafawiyah merupakan dua dinasti besar yang muncul di abad pertengahan. Ada beberapa sebab terjadinya konflik antara Turki Utsmani yaitu;
1.       Adanya konflik internal yang terjadi di pemerintahan Turki Utsmani berupa perebutan tahta kekuasaan antara putra-putra sultan.
2.      Adanya perbedaan Ideologi, Turki Utsmani yang berpaham Sunni sedangkan Shafawiyah berpaham Syiah Itsna Asyariyah. Dari perbedaan ini menyebabkan keduanya saling bertentangan dan berusaha mempertahankan Ideologinya diwilayah masing-masing.
3.      Dalam bidang politik, Dimulai dari kebijakan politik yang diterapkan oleh Sultan Salim I terkait dengan hubungan diplomatik bersama Syah Ismail I. Dengan kebijakan itu pihak Turki Utsmani hanya akan memanfaatkan Shafawiyah demi kepentingan politiknya.
4.      Adanya  krisis ekonomi yang terus-menerus terjadi, bencana alam, wabah penyakit, dan kelaparan dikalangan penduduk Asia Kecil kemudian mengikuti Syah Ismail I yang beraliran Syiah.
Dari berbagai faktor penyebab konflik antara Turki Utsmani dan Shafawiyah banyak peperangan yang terjadi. Perang Chaldiran pada tahun 1514 M yang menjadi perang pembuka antar keduanya. Perang ini merupakan serangan Sultan Salim I pada Syah Ismail I.
Dampak dari Perang Chaldiran dalam bidang keagamaan Sunni menjadi dominan, bidang politik Diyar-e-Bakr dan Arjinzan menjadi wilayah Turki Utsmani, dan bidang ekonomi Hurmuz dikuasai oleh Portugis.



Daftar Pustaka
Hamka. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang,1975.
Ibrahim Hasan, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta:Kota Kembang,1989.
Kusdiana, Ading. Sejarah dan Kebudayaan Islam: periode Pertengahan. Bandung: Pustaka Setia,2013.
Mughni, Shafiq. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Surabaya: Logos,1997.




[1] Shafiq A Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, (Surabaya: Logos,1997), hlm. 59.

kesultanan perlak

MAKALAH
Perkembangan Kesultanan Perlak
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Indonesia Pra-Kolonial
Dosen pengampu: Zuhrotul Latifah, S.Ag., M.Hum




Disusun oleh:
1.    Aditya Ayu Puspa Sari
2.    Nafi’ Rotus Sholikah



PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berdasarkan bukti sejarah yang ada, Sumatra merupakan daerah Indonesia yang pertama yang mendapat pengaruh dari Islam. Secara geografis, sangat memungkinkan karena Pulau Sumatra yang terletak di Bagian Barat dari Kepulauan Indonesia.[1]
Peureulak adalah nama suatu daerah di wilayah  Aceh Timur yang banyak ditumbuhi Keyei Peureulak atau Kayu Perlak. Pada abad ke-8 M, Perlak menjadi tempat persinggahan kapal-kapal niaga orang-orang Arab dan Persi.[2] Kesultanan Perlak adalah kesultanan pertama di Nusantara yang berkuasa pada tahun 840-1292 M. Perlak merupakan suatu daerah penghasil kayu perlak yang digunakan sebagai bahan dasar kapal. Pendiri kesultanan Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, penganut madzab Syiah.[3]
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, menjelaskan mengenai perkembangan kesultanan Islam di Sumatra dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan perannya dalam penyebaran Islam?









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Berdirinya Kesultanan Perlak
Nama Perlak berasal dari nama “kayu Perlak”. Kayu ini sangat baik untuk dijadikan bahan pembuatan perahu atau kapal, sehingga banyak orang datang mengambil kayu tersebut. Atas dasar itulah daerah penghasil “ kayu Perlak” ini disebut dengan “ Negeri Perlak”. Dalam perkembangan berikutnya, para pedagang atau pengembara yang datang dari Cina, Arab, Persi, dan India singgah ke wilayah tersebut “Negeri Perlak” dengan sebutan “Bandar Perlak”. 
            Sebelum berdirinya Kesultanan Perlak, di negeri Perlak telah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Perlak. Raja yang berkuasa bergelar Meurah, kira-kira sama artinya dengan Maharaja. Perkembangan Perlak semakin baik ketika dipimpin oleh Pangeran Salman, seorang pangeran yang memiliki darah kisra Persia. Keturunan dari Pangeran Salman inilah yang kemudian menikah dengan Muhammad Ja’far Shiddiq dan akhirnya menjadi cikal bakal dari Kesultanan Perlak.[4]
Menurut  Wan Hussein Azmi, Perlak adalah kesultanan pertama di Indonesia. Pendapat Wan Husein ini didasarkan pada catatan Idhar Al-Haq sebuah naskah melayu karya Abu Ishak Makarani  Al- Fasy . Dalam  catatan Idhar Al-Haq pada tahun 790 M berlabuh sebuah kapal layar di Bandar Perlak . Kapal tersebut membawa ratusan juru dakwah yang di nahkodai oleh Khalifah , yang datang dari Teluk Kumbay, Gujarat[5]. Salah satu juru dakwah itu adalah Ali bin Muhammad ja’far Sidiq. Ali bin muhammad ja’far Shiddiq adalah seorang muslim bermazhab syah yang memberontak kepada khalifah Makmun. Dalam pemberontakan itulah Ali bin Muhammmad Ja’far Shiddiq mengalami kekalahan, namun khalifal Al Makmun tidak memberikan hukuman yang berat. Kalifah hanya memrintahkan kepada Ali untuk berdakwah keluar dari negeri Arab, karena itulah Ali bin Muhammad Ja’far mengikuti rombongan dakwah ke Nusantara .
            Putra pertamanya itu bernama Syed Maulana Abdul Azis Syah dan berhasil mendirikan Kesultanan Perlak pada hari selasa Satu hari bulan Muharram tahun 225 H/ 840M,  sebagai Kesultanan Islam pertama di bumi Nusantara. Setelah menjadi sultan, ia diberi gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah memerintah hingga tahun 864 M.[6]
B.     Perkembangannya   
Adapun para sultan yang memimpin Kerajaan Perlak adalah setelah Sultan Alauddin Sayyid Maulana Abdul Azis Shah (225-249 H/ 840-864 M), adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (249-285H/ 864-888M), dan Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (285-300H/888-913M).[7] Pada masa pemerintahan baginda (aliran syi’ah), aliran Sunni mulai berkembang dalam masyarakat dan sangat tidak disukai aliran syi’ah. Pada akhir pemerintahan sultan ketiga terjadi perang saudara antara dua golongan tersebut.[8]
Setelah wafatnya Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Syah tidak ada pelantikan sultan di Kesultanan Perlak. Hal itu disebabkan oleh tidak kondusifnya suasana Kesultanan Perlak, karena adanya perang saudara dikalangan rakyat Perlak, yaitu antara pengikut Sunni dengan pengikut Syi’ah. Setelah dua tahun dari wafatnya Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Syah, maka dilantiklah Syed Maulana Ali Mughayat Syah sebagai sultan yang baru dan hanya berkuasa selama tiga tahun, yaitu 915-918 M. Diakhir masa pemerintahannya terjadi  lagi pertikaian antara pengikut Sunni dan pengikut Syi’ah. Dalam pertikaian ini kaum Sunni memperoleh kemenangan, sehingga sultan yang akan berkuasa selanjutnya di Kesultanan Perlak adalah sultan-sultan dari kaum Sunni. Berikut nama-nama sultan yang berkuasa di Kesultanan Perlak;
1.      Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 306-310 H/ 928-932 M.
2.      Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 310-334 H/ 932-956 M.
3.      Sultan Makdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 334-362H/ 956-983 M.[9]
Pada akhir masa pemerintahan Abdul Malik Syah terjadi lagi konflik antara Sunni dan Syi’ah, konflik itu terjadi selama empat tahun dan diakhiri dengan perjanjian persetujuan damai dengan membagi wilayah kesultanan Perlak menjadi dua, yaitu;
a.       Perlak bagian pesisir dikuasi oleh kaum Syi’ah. Perlak pesisir dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah, yang berkuasa pada tahun 976-988 M.
b.      Perlak bagian pedalaman dikuasai oleh Sunni. Perlak pedalaman dipimpin oleh Makdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat yang memerintah pada tahun 986-1023 M.
Pada tahun 986 M, kerajaan Budha Sriwijaya melakukan perlawanan terhadap kesultana Perlak pesisir. Dalam perang ini Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah sultan perlak pesisir wafat. Kesultanan perlak secara keseluruhan di kuasai oleh Sultan perlak pedalaman yang beraliran suni, yaitu Sultan Makdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat. Perang antara kesultanan Perlak berahir pada tahun 1006 M, ketika Sriwijaya mengundurkan diri untuk menghadapi kerajaan Darmawangsa di pulau Jawa. Setelah berahirnya perang antara Kesultanan perlak dengan kerajaan Budha Sriwijaya, selanjutnya Perlak dipimpin oleh keturunan Sultan Malik Ibrahim Syah dari kaum Sunni.
Berikut nama sultan yang berkuasa di Kesultanan Perlak setelah mangkatnya Sultan Malik Ibrahim Syah :
1.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 1023-1059 M.
2.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansyur Syah Johan Brdaulat, memerintah tahun 1059-1078 M.
3.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 1078-1119 M.
4.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 1119-1135 M.
5.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 1135-1160 M.
6.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 1160-1173 M.
7.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 1173-1200 M.
8.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 1200-1230 M.
9.)    Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syad II Johan Berdaulat, memerintah tahun 1230-1267 M.
Sultan Muhammad Amin Syad II memiliki dua orang putri, yaitu putri Ratna Kumala dan putri Gangga. Putri pertama dinikahkan dengan Sultan Malaka yaitu Sultan Mahmud Syah alias Prameswara dan putri pertama dinikahkan dengan Al Malik Al Shaleh.
10.)                        Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Azis Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 1267-1292 M.
Sultan Malik Abdul Azis adalah sultan terakhir dari Kesultanan Perlak. Setelah dirinya wafat, Kesultanan Perlak digabungkan dengan Kesultanan Samudra Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al- Zahir putra Malik Al- Shaleh.[10]





BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Kesultanan Perlak merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara yang berdiri pada tahun 225 H/ 840 M dan rajanya Syed Maulana Abdul Azis Syah, yang merupakan keturunan Syi’ah. Banyak terjadi peperangan diantara Syi’ah dan Sunni yang pada akhirnya terjadi perdamaian dengan dibagi wilayahnya menjadi dua, yaitu Perlak Pesisir bagi golongan Syi’ah dan Perlak Pedalaman bagi golongan Sunni.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Azis Johan Berdaulat adalah sultan terakhir dari Kesultanan Perlak. Sultan Malik Abdul Azis adalah sultan terakhir dari Kesultanan Perlak. Setelah dirinya wafat, Kesultanan Perlak digabungkan dengan Kesultanan Samudra Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al- Zahir putra Malik Al- Shaleh
DAFTAR PUSTAKA
Darmawijaya.Kesultanan Islam Nusantara.Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2010.
Hasymy.Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia._____:Percetakan Offset,1993.
Supriyadi, Dedi.Sejarah Peradaban Islam.Bandung: Pustaka Setia,2008.
Syaefudin, Machfud.Dinamika Peradaban Islam: Perspektif Historis.Yokyakarta:
Pustaka Ilmu,2013.
Yusuf, Mundzirin.Sejarah Peradaban Islam di Indonesia.Yogyakarta: Pinus,2006.



[1] Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2010), hlm. 29
[2] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pinus, 2006), hlm. 55
[3] Machfud Syaefudin, Dinamika Peradaban Islam: Perspektif Historis, (Yokyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 253
[4] Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, hlm. 29-31
[5] Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (______: Percetakan Offset,1993), hlm. 146
[6] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 55-56
[7] Ibid, hlm. 56
[8]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2008), hlm. 194
[9] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, hlm. 56
[10] Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, hlm. 32-34